"Yaa Sayyidi Yaa Rasulullah.mp3"

Abu Abdillah bin Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’I (Imam Syafi’i)

>> Rabu, 13 Oktober 2010

Tahun 150 H, seorang bayi lahir dari rahim seorang Muslimah di Gazza. Beliau punya hubungan silsilah kefamilian dengan Rosululloh SAW dari keturunan Muthollib ibn Abdil Manaf, kelahirannya sarat dengan isyarat-isyarat yang menakjubkan. Pada hari lahirnya, dua ulama besar meninggal dunia, mufti terkenal Hijaz yaitu Imam Ibnu Juraij dan pendiri mazhab Hanafi, yaitu Imam Abu Hanifah.

Sewaktu hamil, sang ibu bermimpi melihat bintang keluar dari perutnya, membubung tinggi ke atas, lalu pecah tercerai berai di langit menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Dalam prediksi para ahli, hal itu pertanda akan lahir seorang bayi yang nantinya memiliki pengetahuan yang luas. Bayi itu tidak lain adalah Muhammad bin Idris yang kemudian lebih akrab dengan sebutan Imam asy-Syafii. Ternyata, berpuluh-puluh tahun kemudian, Imam asy-Syafii menjadi mujtahid muthlaq seakan menjawab takwil dari mimpi sang ibu.

Imam Asy-Syafii menyuguhkan sosok pemikiran fikih yang segar, baru dan moderat antara fikih tradisionalis dan fikih rasionalis. Konsep dan teori fikihnya mencoba mengambil jalan tengah antara dua kutub kecendrungan intelektual yang berbeda: antara aliran Hadits (ahl al-Hadîts) dan aliran rasional (ahl ar-ra'yi).

Posisi beliau sebagai penengah sekaligus pendatang baru ini tidak membuat ide-idenya kalah pamor. Imam asy-Syafii tampil mengimbangi perputaran mazhab pemikiran di zamannya. Imam asy-Syafii mendapatkan sorotan tajam, diteliti, diuji, lalu mulai diminati dan bahkan akhirnya diikuti.

Pengalaman-pengalaman apa saja yang membentuk fikih asy-Syafii? Untuk mengetahui hal ini, kita perlu menjelajahi jejak pengembaraan intelektualnya dari jenjang terendah sampai jenjang yang lebih tinggi.


 

Awal Belajar

Sebelum Imam asy-Syafii muncul sebagai mujtahid besar dengan mazhab yang baru, asy-Syafii mengumpulkan perangkat ijtihadnya melalui proses belajar yang panjang. Fikih asy-Syafii merupakan rumusan baru dari berbagai komposisi fikih yang beliau pelajari semasa hidupnya.

Tempat yang menjadi 'madrasah' pertama bagi Imam asy-Syafii adalah kota Mekah. Beliau sudah singgah di Kota Suci itu sejak dibawa oleh sang ibu saat masih berusia dua tahun. Dalam proses belajar yang dijalaninya, asy-Syafii menampakkan kelebihan sebagai cikal bakal bibit unggul seorang ulama. Pada usia 9 tahun saja, beliau sudah bisa menghapal 30 juz al-Qur'an dengan lancar, dan satu tahun berikutnya, beliau sudah mampu membaca kitab Muwattha', salah satu karya fenomenal Imam Malik.

Bakat dan kecerdasan asy-Syafii sangat membantunya untuk menguasai seluk-beluk bahasa Arab dan ilmu tata bahasanya. Beliau mempelajari bahasa Arab langsung dari sumber yang aslinya, yaitu kabilah-kabilah pedalaman yang bahasanya masih belum tercampur oleh bahasa asing.

Pada usia 15 tahun, asy-Syafii sudah menjadi seorang mufti, sebanding dengan para ulama sepuh di zamannya. Ulama-ulama Mekah yang berjasa menularkan ilmunya kepada Imam asy-Syafii adalah Imam Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid az-Zanji dan Said bin Salim al-Qaddah. Mereka merupakan murid-murid dari ulama Tabiin yang keilmuannya sangat masyhur, di antaranya Mujahid bin Jabr yang terkenal dengan periwayatannya tentang qaul-qaul Ibnu Abbas mengenai tafsir al-Qur'an; 'Atha' bin Abi Rabah, pakar fikih Mekah yang dikenal dengan ilmu manasik hajinya yang lengkap; dan Thawus bin Kisan yang menjabat sebagai mufti sekaligus salah satu murid spesial Ibn Abbas. Bila dirunut lebih jauh, fikih Mekah sejatinya berafiliasi pada dua sahabat besar, yaitu Muadz bin Jabal dan Abdullah bin Abbas.

Setelah dari Mekah, asy-Syafii dalam usia 13 tahun berpindah ke daerah sebelahnya, Madinah, daerah yang pernah didiami Rasulullah r selama kurang lebih 10 tahun. Madinah merupakan salah satu gudang ilmu yang dihuni oleh tokoh-tokoh Shahabat semisal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Abbdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Aisyah. Ilmu mereka menurun pada Tabiin, di antaranya Said bin Musayyib, Urwah bin az-Zubair dan lain-lain. Kemudian berpindah pada kalangan Tabi'ut Tabiin seperti Ibnu Syihab az-Zuhri, Nafi` mantan budak Umar bin Khattab, Rabiah ar-Ra'yi, Yahya bin Said dan Abu az-Zannad Abdullah bin Dzakwan. Hingga pada akhirnya beralih ke Imam asy-Syafii melalui perantara Abdul Aziz ad-Darawardi, Abdullah bin Nafi` dan Imam Malik.

Selama di Madinah, Imam asy-Syafii berhasil merampungkan belajar fikih Maliki sampai wafatnya sang guru, Imam Malik, pada tahun 179 H. Imam asy-Syafii menguasai corak dan metodologi fikih ala Mazhab Maliki yang notabenenya merupakan aliran Hadits (ahl al-Hadîts).

Mazhab Maliki menyatakan bahwa Hadits Âhâd (Hadits yang jalur riwayatnya tidak banyak) yang sahih atau hasan harus didahulukan sebagai dasar hukum dibanding dari qiyâs (analogi). Hanya saja, menurut Mazhab Maliki Hadits Âhâd tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum jika berlawanan dengan perbuatan penduduk Madinah. Karena suatu perbuatan yang diterima oleh khalayak ramai, posisinya sama dengan riwayat yang masyhur, sehingga harus didahulukan ketimbang riwayat yang hanya dibawa oleh satu orang saja.

Setelah mangkatnya imam Malik, asy-Syafii melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke negeri di ujung selatan Semenanjung Arab, yaitu Yaman. Lingkungan dan kondisi Yaman - dengan corak sosial budaya lokalnya dan kedudukan asy-Syafii yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris gubernur plus mufti- merupakan suatu tantangan dan pengalaman baru yang menuntut lebih aktifnya Imam asy-Syafii dalam memahami latar belakang persoalan dan mencoba menghubungkannya dengan konsep fikih yang dimilikinya.

Kenyataan tentunya akan memberikan pengaruh yang baru bagi pola mazhab yang dirancang oleh Imam asy-Syafii. Dan, di Yaman ini beliau juga banyak meraup Hadits dan berbagai ilmu lainya dari para ulama Yaman seperti Abu Ayyub Muthraf bin Mazin al-Shan'ani, Abu Abdirrahman Hisyam bin Yusuf , Amr bin Abi Salmah (murid imam al-Auzai), dan Yahya bin Hassan (salah satu ulama pengikut Imam al-Laits bin Sa'd. Fikih mereka berpangkal pada Shahabat Mu`adz bin Jabal, Khalid bin Walid dan Ali bin Abi Thalib.

Ketegaran dan komitmen asy-Syafii dalam menegakkan hukum Islam menyebabkan rasa dendam pada orang-orang yang tidak menyukainya. Oleh karena itu, pada tahun 184 H, asy-Syafii harus berlawat ke Baghdad menemui Khalifah Harun ar-Rasyid karena dituduh menjadi penyebar ajaran syiah. Namun, beliau berhasil bebas dengan terhormat setelah terbukti tidak bersalah.

Kesempatan pergi ke Iraq, merupakan peluang besar untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuannya. Kebetulan kondisi sosial dan kecenderungan intelektual Iraq, terutama Baghdad, beda jauh dengan Hijaz dan Yaman. Sebagai ibukota Dinasti Abbasiyah tentu saja Baghdad menjadi kota dengan kemajuan peradaban yang luar biasa. Baghdad adalah pusat pertanian, perdagangan, ilmu pengetahuan, penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya.

Hijaz (Mekah, Madinah sampai Yaman) unggul karena kekayaan khazanah Haditsnya, sedangkan Iraq memiliki perbendaharaan Hadits yang minim. Corak fikih di Iraq lebih banyak menggunakan pertimbangan akal dibanding fikih Hijaz. Fikih Iraq merupakan warisan Shahabat Abdullah bin Mas'ud yang kemudian diusung oleh Abu Hanifah, seorang mujtahid besar dan pendiri Mazhab Hanafi. Selanjutnya, fikih tersebut diwarisi oleh Waki' bin al-Jarrah dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani. Kepada mereka berdualah, Imam asy-Syafii berguru fikih di Iraq.

Setelah cukup lama malang melintang ke berbagai wilayah, Imam asy-Syafii akhirnya kembali ke Mekah. Di sana, beliau mengajar dan aktif menyebarkan ilmu.

Dengan pengembaraan yang luar biasa ini, Imam asy-Syafii memiliki sekian banyak perbandingan. Dalam diri beliau terkumpul serpihan demi serpihan gagasan, yang siap untuk dirumuskan dan diolah menjadi buah pemikiran yang segar.

Kelahiran dan Pertumbuhan Mazhab asy-Syafii

Setelah mengantongi seabrek pemikiran fikih dari Mekah, Madinah, Yaman dan Iraq, maka pada tahun 195 H, Imam asy-Syafii mendeklarasikan mazhabnya yang baru. Hal ini terjadi bersamaan dengan kunjungan beliau ke Baghdad untuk kedua kalinya. Pada momen-momen inilah pemikiran Imam asy-Syafii memasuki tahap pengujian sebelum akhirnya diterima masyarakat luas. Dengan intens, Imam asy-Syafii menyebarkan mazhabnya di Iraq sekitar 2 tahun, baik lewat lisan maupun tulisan. Di Baghad beliau menulis kitab ar-Risâlah yang kemudian menjadi pelopor lahirnya ilmu ushul fikih. Imam asy-Syafii memiliki para pengikut (ashâb) seperti Imam Ahmad bin Hanbal, az-Za'farani, al-Karabisi dan Abu Tsaur. Seluruh pendapat dan karya Imam asy-Syafii selama berada Baghdad ini kemudian disebut dengan qaul qadîm (pendapat lama dari Imam asy-Syafii).

Kematangan dan Kesempurnaan Mazhab asy-Syafii

Titik awal tahap ini dimulai sejak kedatangan Imam asy-Syafii ke Mesir pada akhir-akhir tahun 199 H sampai wafatnya tahun 204 H. Meskipun dalam kurun waktu yang sebentar, yaitu tidak lebih dari 5 tahun dari sisa usianya, masa-masa ini merupakan masa-masa yang menebarkan keharuman dan keagungan Imam asy-Syafi`i. Masa-masa yang penuh dengan inovasi dan kreasi-kreasi subur dari hasil kerja olah pikir Imam asy-Syafii. Pergumulannya dengan para ulama dan pemikiran-pemikiran di Mesir serta pengamatannya yang tajam terhadap kondisi sosial budaya dan kemasyarakatan yang berbeda dengan daerah Hijaz dan Iraq, membuat Imam asy-Syafii menengok kembali pendapat-pendapat yang pernah beliau publikasikan sewaktu berada di Baghdad (qaul qadîm). Imam Syafii pun mengeluarkan revisi atas qaul qadîm-nya. Revisi ini yang kemudian lebih dikenal dengan istilah qaul jadîd. Pemikiran-pemikiran barunya dibukukan ke berbagai kitab, di antaranya kitab al-Ummu yang menjadi salah satu kitab induk dalam mazhab asy-Syafii.

Inovasi-inovasi asy-Syafii ini membuat beberapa ulama-ulama besar dari mazhab lain berbelok arah menjadi pengikutnya, seperti Imam al-Muzani yang sebelumnya bermazhab Hanafi dan al-Buwaithi yang pada awalnya menganut Mazhab Maliki.


 

0 komentar:

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP