"Yaa Sayyidi Yaa Rasulullah.mp3"

Membangun Masjid di Sisi Kuburan

>> Rabu, 25 Agustus 2010


Salah satu keyakinan Ahlusunah yang mempunyai dasar dalil al-Quran, as-Sunnah dan prilaku Salaf Saleh yang dituduhkan sebagai prilaku syirik oleh sebagian kecil kelompok umat Islam tentang diperbolehkannya membangun masjid di sisi kuburan para rasul, nabi dan waliyullah. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan (fatwa) oleh Ibnu Taimiyah sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Qaidah al-Jalilah halaman 22. Ibn Taimiyah mengatakan: "Nabi melarang menjadikan kuburannya sebagai masjid, yaitu tidak memperbolehkan seseorang pada waktu-waktu shalat untuk mendatangi, shalat dan berdoa di sisi kuburan-nya, walaupun dengan maksud beribadah untuk Allah sekalipun. Hal itu dikarenakan tempat-tempat semacam itu menjadi sarana untuk perbuatan syirik. Yaitu boleh jadi nanti mengakibatkan seseorang melakukan doa dan shalat untuk ahli kubur dengan mengagungkan dan menghormatinya. Atas dasar itu maka membangun masjid di sisi kuburan para waliyullah merupakan perbuatan haram. Oleh karenanya walaupun pembangunan masjid itu sendiri merupakan sesuatu yang ditekankan namun dikarenakan perbuatan seperti tadi dapat menjerumuskan seseorang ke dalam prilaku syirik maka hukumnya secara mutlak haram".

Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya tadi dengan hadis-hadis seperti:

Pertama: Rasulullah bersabda: "Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani dikarenakan mereka telah menjadikan kubur para nabinya sebagai tempat ibadah". (lihat kitab Shahih Bukhari jilid 2 halaman 111 dalam kitab al-Jana'iz (jenazah-jenazah), hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Sunan an-Nas'i jilid 2 halaman 871 kitab al-Jana'iz)

Kedua: Sewaktu Ummu Habibah dan Ummu Salamah menemui Rasulullah dan berbincang-bincang tentang tempat ibadah (baca: gereja) yang pernah dilihatnya di Habasyah, lantas Rasul bersabda: "Mereka adalah kaum yang setiap ada orang saleh dari mereka yang meninggal niscaya mereka akan membangun tempat ibadah di atasnya dan mereka pun menghadapkan mukanya ke situ. Mereka di akherat kelak tergolong makhluk yang buruk di sisi Allah". (lihat kitab Shahih Muslim jilid 2 halaman 66 kitab al-Masajid)

Ketiga: Dari Jundab bin Abdullah al-Bajli yang mengatakan; aku mendengar lima hari sebelum Rasul meninggal, beliau bersabda: "Ketahuilah, sesungguhnya sebelum kalian terdapat kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Namun janganlah kalian melakukan semacam itu. Aku ingatkan hal tersebut pada kalian". (lihat kitab Shahih Muslim jilid 1 halaman 378)

Keempat: Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau pernah bermunajat kepada Allah swt dengan mengatakan: "Ya Allah, jangan Kau jadikan kuburku sebagai tempat penyembahan berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah". (lihat kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 246)

Ini adalah riwayat-riwayat yang dijadikan dalil untuk mengatakan syirik terhadap kaum Ahlusunah –terutama di Indonesia yang rata-rata di sisi makam waliyullah terdapat bangunan yang disebut masjid. Lantas apakah benar bahwa hadis-hadis itu mengandung larangan pelarangan pembuatan masjid di sisi kubur para waliyullah secara mutlak? Di sini kita akan kita telaah dan kritisi cara berdalil sebagian umat tersebut dalam menggunakan hadis-hadis sahih tadi sebagai sandarannya.

Ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam mengkritisi dalil yang menjadikan hadis-hadis tadi sebagai pelarangan pembangunan kubur di sisi makam waliyullah secara mutlak:

(A) Untuk memahami hadis-hadis tadi maka kita harus memahami terlebih dahulu tujuan kaum Yahudi dan Nasrani dari pembikinan tempat ibadah di sisi para manusia saleh mereka tadi. Dikarenakan melihat "tujuan buruk" kaum Yahudi dan Nasrani dalam membangun tempat ibadah di sisi kuburan itulah maka keluarlah larangan Rasul. Dari hadis-hadis tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia saleh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Ke arah kuburan itulah mereka menghadapkan muka mereka sewaktu bersujud. Hakekat prilaku inilah yang meniscayakan sama hukumnya dengan menyembah kuburan-kuburan itu. Inilah yang dilarang dengan tegas oleh Rasululah Muhammad saw.

Jadi jika seorang muslim membangun masjid di sisi kuburan seorang waliyullah sekedar untuk mengambil berkah (Tabarruk) dari tempat tersebut dan sewaktu ia melakukan shalat tidak ada niatan sedikitpun untuk mengagungkan kubur tadi maka hal ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis di atas tadi, terkhusus hadis dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah yang menjelaskan kekhususan kaum Yahudi dan Nasrani dalam menjadikan kubur manusia saleh dari mereka sebagai tempat ibadah.

Al-Baidhawi dalam mensyarahi hadis tadi menyatakan: "Hal itu dikarenakan kaum Yahudi dan Nasrani selalu mengagungkan kubur para nabi dengan melakukan sujud dan menjadikannya sebagai kiblat (arah ibadah). Atas dasar inilah akhirnya kaum muslimin dilarang untuk melakukan hal yang sama dikarenakan perbuatan ini merupakan perbuatan syirik yang nyata. Namun jika masjid dibangun di sisi kuburan seorang hamba saleh dengan niatan ber-tabarruk (mencari berkah) maka pelarangan hadis tadi tidak dapat diterapkan padanya". Hal serupa juga dinyatakan oleh As-Sanadi dalam mensyarahi kitab Sunan an-Nasa'i jilid 2 halaman 41 dimana ia menyatakan: "Nabi melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang mirip prilaku Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan kuburan para nabi mereka, baik dengan menjadikannya sebagai tempat sujud dan tempat pengagungan maupun arah kiblat dimana mereka akan menghadapkan wajahnya ke arahnya (kubur) sewaktu ibadah".

(B) Sebagian hadis di atas menyatakan akan pelarangan membangun masjid "di atas" kuburan, bukan di sisi (baca: samping) kuburan. Letak perbedaan redaksi inilah yang kurang diperhatikan .

(C) Tidak jelas apakah pelarangan dalam hadis itu menjurus kepada hukum haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana beliau mengumpulkan hadis-hadis itu ke dalam topik "Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan" (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid 'alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayaknya dihindari, bukan mutlak haram.

Atas dasar itu, dalam kitab al-Maqolaat as-Saniyah halaman 427 disebutkan bahwa Syeikh Abdullah Harawi dalam menjelaskan hadis di atas tadi mengatakan: "Hadis tadi diperuntukkan bagi orang yang hendak melakukan ibadah di atas kuburan para nabi dengan niat untuk mengagungkan kubur mereka. Ini terjadi jika posisi kuburan itu nampak (menonjol .red) dan terbuka. Jika tidak maka melaksanakan shalat di situ tidak haram hukumnya".

Begitu pula apa yang dinyatakan oleh salah seorang ulama Ahlusunah lain yang bermazhab Hanafi yang bernama Abdul Ghani an-Nablusi dalam kitab al-Hadiqoh ast-Tsaniyah jilid 2 halaman 631. Ia menyatakan: "Jika sebuah masjid dibangun di sisi kuburan (makam) orang saleh ataupun di samping kuburannya yang hanya berfungsi untuk mengambil berkahnya saja, tanpa ada niatan untuk mengagungkannya maka hal itu tidak mengapa. Sebagaimana kubur Ismail as terletak di Hathim di dalam Masjidil Haram dimana tempat itu adalah sebaik-baik tempat untuk melaksanakan shalat".

Allamah Badruddin al-Hautsi pun menyatakan hal serupa dalam kitab Ziarah al-Qubur halaman 28: "Arti dari menjadikan kuburan sebuah masjid adalah seseorang menjadikan kuburan sebagai kiblat (arah ibadah) dan untuknya dilaksanakan peribadatan".

Dalil lain yang dijadikan pelarangan pembengunan masjid tersebut –terkhusus Ibnu Qoyyim al-Jauziyah- adalah kaidah Sadd adz-Dzarayi' dimana kaidah itu menyatakan: "Jika sebuah perbuatan secara dzatnya (esensial) dihukumi boleh ataupun sunah, namun dengan melalui perbuatan itu menjadikan seseorang mungkin orang tadi terjerumus ke dalam perbuatan haram maka untuk menghindari hal buruk tersebut -agar orang tadi tidak terjerumus ke dalam jurang tersebut- perbuatan itupun lantas dihukumi haram". (lihat kembali kitab A'lam al-Muwaqi'in jilid 3 halaman 148).

Namun dalam pembahasan Ushul Fikih disebutkan "Hanya mukadimah untuk pelaksanaan perbuatan wajib yang menjurus secara langsung kepada kewajiban itu saja yang juga dihukumi wajib" seperti kita tahu kewajiban wudhu karena ia merupakan mukadimah langsung dari shalat yang wajib. Begitu juga dengan "mukadimah yang menjurus langsung kepada hal haram, hukumnya pun haram", jadi tidak mutlak semua mukadimah. Atas dasar ini maka membangun masjid di sisi kuburan manusia mulia (para nabi atau waliyullah) jika tidak untuk tujuan syirik maka tidak menjadi apa-apa (boleh). Dan terbukti mayoritas mutlak masyarakat muslim disaat melakukan hal tersebut dengan niatan penghambaan terhadap Allah (tidak untuk menyekutukan Allah / Syirik). Kalaupun ada seorang muslim yang berniat melakukan syirik, itu merupakan hal yang sangat jarang (baca: minim) sekali.

Dalam ayat 21 dari surat al-Kahfi disebutkan: "Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: "dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka". orang-orang yang berkasa atas urusan mereka berata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya"". Jelas sekali bahwa mayoritas masyarakat ahli tauhid (monoteis) kala itu sepakat untuk membangun masjid di sisi makam para penghuni gua (Ashabul-Kahfi). Tentu semua kaum muslimin lainnya bahwa al-Quran bukan hanya sekedar kitab cerita yang hanya begitu saja menceritakan peristiwa-peristiwa menarik zaman dahulu tanpa memuat ajaran untuk dijadikan pedoman hidup kaum muslimin. Jika kisah pembuatan masjid di sisi makam Ashabul-Kahfi merupakan perbuatan syirik maka pasti Allah swt menyindir dan mengkritik hal itu dalam lanjutan kisah al-Quran tadi, karena syirik adalah perbuatan yang paling dibenci oleh Allah swt. Namun terbukti Allah swt tidak melakukan peneguran baik secara langsung maupun secara tidak langsung (sindiran). Atas dasar itu pula terbukti para ulama tafsir Ahlusunah menyatakan bahwa para penguasa kala itu adalah orang-orang yang bertauhid kepada Allah swt, bukan kaum musyrik penyembah kuburan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh az-Zamakhsari dalam kitab Tafsir al-Kassyaf jilid 2 halaman 245, Fakhrurrazi dalam kitab Mafatihul Ghaib jilid 21 halaman 105, Abu Hayyan al-Andalusy dalam kitab al-Bahrul Muhith dalam menjelaskan ayat 21 dari surat al-Kahfi tadi dan Abu Sa'ud dalam kitab Tafsir Abi Sa'ud jilid 5 halaman 215.

Dan jika kita lihat prilaku Salaf Saleh yang dalam hal ini diwakili oleh Abu Jundal salah seorang sahabat mulia Rasul. Para Ahli sejarah menjelaskan peristiwa yang dialami oleh Abu Jundal dengan menyatakan: "Suatu saat, sepucuk surat Rasulullah sampai ke tangan Abu Jundal. Kala surat itu sampai, Abu Bashir (juga sahabat mulia Rasul yang menemani Abu Jundal .red) tengah mengalami sakaratul-maut (naza'). Beliau meninggal dengan posisi menggenggam surat Rasul. Kemudian Abu Jundal mengebumikan beliau (Abu Bashir .red) di tempat itu dan membangun masjid di atasnya". Kisah ini dapat dilihat dalam karya Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir jilid 8 halaman 334 dan atau kitab al-Isti'ab jilid 4 halaman 21-23 karya Ibnu Hajar. Apakah mungkin seorang sahabat Rasul seperti Abu Jundal melakukan perbuatan syirik? Jika itu syirik, kenapa tidak ada seorang sahabat Rasul lain pun yang menegurnya? Atau kenapa Rasul sendiri tidak menegurnya? Apakah Rasul dan Sahabat-sahabat lainnya tidak tahu akan peristiwa itu? Jika mereka tahu, kenapa mereka tetap membiarkannya melakukan kesyirikkan? Jelas bahwa membangun masjid di sisi kuburan merupakan hal yang diperbolehkan oleh Islam sesuai dengan dalil ayat al-Quran dan prilaku Salaf Saleh. Bahkan terbukti bahwa at-Tabrani dalam kitab al-Mukjam al-Kabir jilid 3 halaman 204 menyatakan bahwa di dalam masjid Khaif (di Mina dekat Makkah .red) terdapat delapan puluh makam para nabi, padahal masjid itu telah ada semenjak zaman Salaf Saleh. Lantas kenapa para Salaf Saleh tetap mempertahankan berdiri tegaknya masjid tersebut. Jika itu merupakan perbuatan syirik maka selayaknya sejak dari dulu telah dihancurkan oleh Rasulullah beserta para sahabat mulai beliau.

(sumber : http://salafyindonesia.wordpress.com)

0 komentar:

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP