"Yaa Sayyidi Yaa Rasulullah.mp3"

Ruh dan Jiwa

>> Sabtu, 16 Juli 2011

Ahli sufi  membedakan  ruh  dan jiwa.Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia  selalu  dinisbahkan kepada Alloh dan tetap berada dalam keadaan suci.

 
 

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Alloh dan berada dalam jasad, ia  tetap  suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji,  maka  lain  halnya  dengan  jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farobi, Ibnu Sina dan Al-Ghozali membagi jiwa pada; jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.

 
 

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan,juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang daya merasa, sedangkan jiwa insan mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (an-nafsul-nathiqoh).

 
 

Daya jiwa yang berfikir (an-nafsul-nathiqoh atau an-nafsul-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, dzatnya dan penciptaannya.

 
 

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati

dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia menjadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

 
 

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Alloh, "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS Ar-Ro'd: 53)

 
 

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Alloh. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS Al-Qiyamah: 2)

 
 

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang  tenang  (an-nafsul-muthma'innah). Dalam hal ini Alloh menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa  puas  lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS Al-Fajr: 27-30)

 
 

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu  jiwa  yang  telah menjadi  tumpukan  sifat-sifat  yang  tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan  jiwa  yang telah  mencapai  tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthma'innah.

Dan jiwa muthma'innah inilah yang telah dijamin Alloh langsung masuk surga.

 
 

Jiwa muthma'innah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu  sifat, yaitu suci.

Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen.  Alloh sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaan-Nya, Alloh mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS Asy-Syams: 7-8). Artinya,  dalam  jiwa  terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak 

pada perjuangan baik dan buruk. Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan tersebut.

Firman Alloh yang artinya, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS Asy-Syams: 8-9)

0 komentar:

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP