"Yaa Sayyidi Yaa Rasulullah.mp3"

Mengetahui keberadaan Allah SWT

>> Senin, 21 Februari 2011

Mungkin terlintas dalam benak kita, apakah masih perlu berbicara tentang Allah? Bukankah kita sudah sering mendengar dan menyebut asma-Nya. Bukankah kita sudah tahu bahwa Allah adalah Tuhan kita. Tidakkah itu sudah cukup? sebenarnya perasaan merasa cukup inilah yang menghalangi kita untuk menambah dan memperkaya wawasan kita tentang pemahaman dan pengenalan terhadap pencipta kita, Allah SWT. 

Ma'rifatullah atau mengenal Allah adalah ilmu tertinggi sebab jika dipahami memberikan keyakinan yang sangat dalam yang disebut Ainu al-Yaqin – tersingkapnya sesuatu secara jelas, tidak ada keraguan, tidak mungkin salah dan keliru, sesungguhnya semakin dalam dan sering kita memahami untuk mengenal Allah maka kita akan semakin merasa dekat dengan-Nya. Semakin dekat perasaan kita kepada Allah maka dengan semdirinya semakin sering kita mengingat Allah hingga semakin tenang jiwa kita. Sebagaimana yang termaktub dalam Al Qur'anul Karim dalam Surat Ar Ra'du (13) : 28

الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

" orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.

Dalam pembahasan tentang Allah kali ini kita hanya akan membahas keberadaan Allah SWT, kita shalat menghadap kiblat, apakah Allah ada di dalam ka'bah kiblat kita, dimanakah Allah sebenarnya.

Segolongan umat ini mengatakan jika Allah itu ada di langit bersemayam di Arsy, dalil mereka mengacu pada :

"Ar-Rahman di atas 'Arsy Dia istiwaa (diartikan = bersemayam)". (Thaha : 5).

"Sesungguhnya Tuhan kamu itu Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia istiwaa (diartikan = bersemayam) di atas 'Arsy".(Al-A'raf :54), (Yunus ayat 3), (Ar-Ra'du ayat 2), (Al-Furqaan ayat 59), (As-Sajdah ayat 4), (Al-Hadid ayat 4)

Sebenarnya ayat-ayat Quran yang tersebut ((Thaha : 5), (Al-A'raf :54), (Yunus ayat 3), (Ar-Ra'du ayat 2), (Al-Furqaan ayat 59), (As-Sajdah ayat 4), (Al-Hadid ayat 4)) tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata "istawa" menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu ayat-ayat tersebut akan bertentangan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: "Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada." (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

 وَقَالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ. (الصافات : ٩٩).

 "Dan Ibrahim berkata, "Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk." (QS. al-Shaffat : 99).

 Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina."

Keyakinan mereka bahwa Allah subhanahu wa ta'ala ada di langit juga mendasarkan oleh sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits shahih:

 قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم.

 "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: "Allah ada di mana?" Lalu budak itu menjawab: "Allah ada di langit." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya; "Saya siapa?" Ia menjawab: "Engkau Rasul Allah." Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, "Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin." (HR. Muslim)."

Yang sesungguhnya hadits yang tersebut diatas tidak dapat dijadikan dalil mengenai Allah berada di Langit, ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits diatas. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits). menurut para ulama hadits tersebut tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta'ala. Akan tetapi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.

 Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta'wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wa ta'ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa ta'ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta'ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.

 Ketiga, apabila hadits tersebut menjadi hukum tentang keyakinan Allah subhanahu wa ta'ala ada di langit, maka akan bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

 عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

 "Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, "Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya." (HR. al-Bukhari [405]).

 Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Jika keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma' ulama salaf. Padahal ijma' ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta'ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:

 وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ

 "Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi'in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu." (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

 Al-Imam Abu Ja'far al-Thahawi juga berkata dalam al-'Aqidah al-Thahawiyyah,

 وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ.

 "Allah subhanahu wa ta'ala tidak dibatasi oleh arah yang enam."

Tempat dan waktu itu adalah makhluk, kalau tempat itu makhluk, lalu "sebelum terciptanya tempat dan waktu, Allah ada di mana?", Pertanyaan ini bagi mereka yang menganggap Allah ada di langit adalah pertanyaan yang tidak boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid'ah." sepertinya mereka tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta'ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid'ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

 عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري).

 "Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhu berkata: "Aku berada bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: "Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah." (HR. al-Bukhari [3191]).

 Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala tidak bertempat. Allah subhanahu wa ta'ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:

 عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.

 
 

"Abi Razin radhiyallahu 'anhu berkata: "Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air." Ahmad bin Mani' berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: "hadits ini bernilai hasan". (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).

Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi'in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata:

 كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ

 "Allah subhanahu wa ta'ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat)." (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Bagaimana mengenal Allah yang tidak bertempat, Makrifat sebenarnya diperoleh melalui llham. Allah memancarkan Nur ke dalam qalbu seseorang agar ia mengenali hakikat Allah dan segala ciptaannya. Hanya qalbu yang bersihlah yang bisa menerima Nur Ilahi. Apa syaratnya? Harus menyucikan diri dari dosa dan tingkah laku tercela, membersihkan diri dari keyakinan selain keyakinan kepada Allah. Qalbu harus total berdzikir kepada Allah sehingga dapat mencapai fana (kesirnaan) secara total. Jika sudah mampu mencapai tahapan ini (maqamat), ia bisa mendapatkan mukasyafah (mampu menjawab persoalan) dan musyahadah (mampu melihat Allah dalam hati).

~Allahu a'lam~


 


 


 


 

Read more...

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP